Pages

Rabu, 21 Desember 2011

Karena Perbedaan Itu Indah

Tak ada manusia yang bisa meminta untuk dilahirkan dari seorang ibu bersuku apa dan beragama apa? Semua manusia dilahirkan dalam keadaan suci tanpa dia tahu harus memeluk agama apa? Dan dari keturunan suku mana? Karena di Indonesia *bicara lingkup Indonesiah aja deh* ada 5 agama yang diakui oleh Pemerintah dan banyak sekali suku bangsa dengan keanekaragaman budayanya, maka sudah seharusnya kita saling bertoleransi.


Adalah Dwiyani Arta Simamora yang terlahir dari rahim seorang ibu berdarah Jawa tulen beragama Islam dan ayah berdarah Batak beragama Kristen. Yupp...jika dilihat dari silsilah keluarga, ada banyak perbedaan dalam keluarga kami dan dari kecil saya belajar menerima perbedaan itu.
Masih ingat dalam memori otak saya ketika duduk di bangku SD saudara sepupu saya (dari pihak mama) tiba2 menolak bermain dengan saya. Ketika saya bertanya mengapa, dijawablah oleh sepupu saya : "kata Ibu, aku gak boleh main sama Yani karena papanya Yani agamanya Kristen" dan Yani kecil saat itu tidak mau ambil pusing *mau main sama aku monggo, enggak juga gak papa*. Tapi lantas saya bercerita pada mama dan mama menasehati saya : "gak papa kalo mbak X gak mau main sama Ade *panggilan saya di rumah* kan masih banyak teman yang mau main sama Ade"
Sekarang setelah saya jadi seorang ibu, gak habis pikir kenapa ibunya mbak X (bude saya) mengajari anaknya seperti itu? :(


Menurut cerita papa saya (opung Samara) dulu waktu mau menikah dengan mama (eyang Samara) ditentang habis habisan oleh keluarga mama karena papa orang Batak & beragama Kristen (maaf bukan berarti saya mendeskriditkan agama & suku tertentu). Maklum saja jaman dahulu rasa toleransinya sangat kurang dan masih kuat sekali menganut paham sukuisme. Malah ada salah satu pakde saya yang menjelek jelekan suku papa tapi beberapa tahun kemudian pakde saya mempunyai menantu orang Batak. Nah lo...entah karma atau bukan saya tidak tahu? Tapi berkat kekuatan cinta papa mama akhirnya mereka bisa melewati masa masa sulit itu.


Singkat cerita saya dan kakak semata wayang saya memeluk agama Islam. Dulu ketika saya kecil sempat merasakan euforianya natal karena setiap natal tiba papa selalu memasang christmas tree. Walau papa seorang kepala keluarga tetapi papa tidak pernah memaksa anak2nya untuk mengikuti keyakinannya dan papa juga tidak pernah membawa kami ke gereja. Ketika Idul Fitri pun papa ikutan sibuk mempersiapkan segala sesuatu untuk merayakan hari besar kami.


Sejujurnya ketika beranjak abg saya mendambakan papa masuk agama kami dan pernah saya utarakan hal itu kepada beliau tetapi ditolak. Ya sudah...saya hanya bisa berdoa semoga Allah memberikan hidayah-Nya kepada papa. Entah dari mana datangnya keajaiban itu tiba2 papa menyatakan ingin masuk agama Islam, Subhanallah....ini merupakan hal terindah bagi kami. Saat papa mengucapkan 2 kalimat Syahadat merinding tubuh ini dan tak kuasa menahan air mata kebahagiaan karena akhirnya doa kami terkabul. Sejak saat itu mama berjanji akan membawa papa untuk menyempurnakan rukun Islamnya dengan menunaikan ibadah haji.


Alhamdulilah doa mama terkabul, pada tahun 2004 papa mama berangkat menunaikan rukun Islam yang kelima. Kebayang dong gimana senangnya hati saya, malah waktu itu papa adalah satu satunya jamaah haji Kab. Tegal yang mualaf sehingga banyak mendapat perhatian dan bimbingan. Papa juga sangat senang bisa menginjakan kakinya ke tanah suci yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Pulang menunaikan ibadah haji resmilah papa berganti nama dari Robni Marben Simamora (RM Simamora) menjadi H. Muhammad Simamora *keren kan namanya hehehe* 


Meski sekarang papa menjadi seorang muslim tetapi keluarga besar Simamora tidak pernah mengucilkannya. Kami bisa hidup berdampingan tanpa melihat perbedaan yang ada. Bahkan waktu tahun 2008 kami mudik ke kampung halaman papa di Tarutung Sumut, Namboru *adik perempuan papa* sengaja tidak memasak daging babi dan menggantikan dengan memasak daging ayam. Selama disana kami bebas melaksanakan sholat, mereka sangat menghargai keyakinan kami dan kami pun tak lupa berziarah ke makam Opung saya.


Tibalah saatnya saya bertemu dan berkasih kasihan *atau bahasa abege nya pacaran* dg seorang pria bernama Daris Qudsy a.k.a Ayah Samara dan terbukalah silsilah keluarga kak Daris *panggilan saya pada suami sebelum kami menikah* yang ternyata kedua orangtaunya dulu juga berbeda agama. Bapak mertua saya (alm) dulu beragama Kristen dan berdarah campuran Padang-Manado sedangkan ibu mertua saya beragama Islam berdarah Banten-Betawi. Tetapi sekarang keluarga kak Daris semua sudah beragama Islam malah bapak mertua semasa hidupnya dulu menjadi seorang mubaligh di sebuah pondok pesantren.

Jadi... sepertinya saya memang sudah ditakdirkan hidup di lingkungan yang berbeda keyakinan tapi... semuanya nampak begitu indah jika kita tidak mempermasalahan perbedaan yang ada.

Dan apabila semua orang di dunia ini bisa dengan bijaksana menyikapi perbedaan maka saya yakin gak akan ada lagi pertikaian antar SARA, gak ada lagi perang saudara, gak ada lagi pengeboman di sana sini. Karena kita semua bersaudara....
Mari kita bergandengan tangan berjalan menuju hidup yang damai dan sejahtera. 

*maaf isi tulisan ini bukan berarti menjelekan suatu agama dan suku tertentu dan bukan pula menonjolkan satu agama dan suku tertentu, ini cuma sekedar tulisan atas keprihatinan saya terhadap perbedaan yang sekarang ini justru menjadi masalah. Dan foto2 yang nonggol disini gak ada hubungannya samsek dengan tulisan di atas, ini cuma foto narsis saya saja waktu mudik ke Medan :)*
 
Masjid Raya Medan yang sukses membuatku berdecak kagum

Berpose bersama mama papa dengan background Danau Toba 

4 komentar:

  1. merinding deh baca postingan ini, yg namany hidayah kdg tak tduga datangny, salam kenal y :)

    BalasHapus
  2. Walo berbeda-beda tapi tetap akur ya, salut sama keluargamu jeng :)

    BalasHapus
  3. Keluarga Yusuf di Jogja, salam kenal juga...
    Memang benar kita tak bs merubah hati seseorang, yang kita bisa lakukan adalah mendoakan agar orang tsb agar diberikan hidayah :)

    BalasHapus
  4. Mba Allisa,
    Alhamdulilah kami tetap akur, semoga keakuran ini berlangsung selamanya. Amin :)

    BalasHapus

Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk berkomentar :)